February 21, 2013

Tarum

Ada yang lenyap dari mata itu:
  Sinar yang teduh, tatapan yang menyalang
Tak lagi ia rasai merdeka
Pikirnya tlah lama dijajah pilu

Marah.
Itu yang mungkin pertama terpancar dari mata yang tajam
Tapi coba kau telisik lebih dalam
Bukan marah yang ia rasa
Tapi pilu yang sama, yang tak berkesudahan.

Banyak langgam yang coba ia serukan atas sakitnya
Tapi, sayang.
Mahkota yang menyangganya terlanjur terkulai
Lemah dan tak mampu mengangkat Tuannya; mata tajam yang menyalang.

Matari mencapai puncak
Pekat kabut bersiap menyelimuti lagi punggung gunung
Punggung hati yang kadung dicabik, lalu dilarung
Mata tajam bersalin beku
Atau mungkin lebih tajam dan menjadi tuah?
Pemilik mata tajam yang menyalang ingin kembali ke dirinya yang dulu:
    Ksatria mangir dengan zirah kulit bercampur logam
Bukan untuk membunuh, tapi melindungi (lagi) dirinya dari sakit yang tak berkesudahan.
Mata tajam yang menyalang tak sudi lagi mencari iba.

February 12, 2013

#12

Jika memang kamu… izinkan aku untuk menepi dan bersandar. Menanti kau mengubah haluan dan kembali ke tempatku berbaring. Menatap senja dalam peluk dan kabut. Berdua. Kita. Dan biarkan gelombang yang menuntun kita lewati malam.

Tak usah hiraukan jantungmu yang berdegup kencang. Dengar nadaku; kita jalani malam syahdu dengan tenang dan langkah yang ringan. Tenangkan nafasmu, Kekasih. Biar mata kita yang bercakap dan gelombang kita yang berpadu dalam hening semesta.

Selubung tipis itu kian memudar. Kerna lampu pijar tlah temukan aku dalam riuhnya kamu. Bersenandunglah; nyanyikan lagu romansa yang manis dan lembut. Tentang nelayan yang kembali pada biduknya. Tentang astronot yang kembali pada pangkuan bulannya.

Radarku mati; kompasku menunjukkan kaulah utaraku. Kau kutunggu. Lekaslah putar kemudi kapalmu dan kembali kita nikmati senja yang membiru.