April 09, 2013

#14

Mencintaimu adalah magis.
Seperti si buta yang berhasil merasai dunia;
Seperti deburan ombak yang memecah karang menjadi pasir;
Seperti jiwa renta yang menemukan kembali nyawanya yang tlah lenyap.
Mencintaimu adalah kembali percaya bahwa aku tak gila.
Mencintaimu adalah indah,
Layaknya menatap pagi dengan sekelompok kabut yang memecah mentari.
Mencintaimu adalah candu,
Melekat kuat dalam tiap arus darah dan setruman sinaps neuron.
Karena aku, hanya mampu mencintaimu dengan sederhana.

March 01, 2013

#13

Matahari menyapu lembut
Dua mata mengatup, menolak
Ia menyemai senyum
Tapi matanya menabur duka
Senja menapak di ujung jemari
Ufuk timur masih menyemburat warna pelangi
Partikel.
Partikel dalam dirimu menancap kuat dalam arteriku
Serambi hati, serambi jantung
Arus darah berbalik deras
Buih laut mencampur perih garam
Dua pasang mata beradu
Dua bibir saling memagut
Tanah yang terhempas, hanyut bersama buih
Berpulang ke laut; ke sebuah nyata asal kita
Ke sebuah hidup yang tak lagi fana, fatamorgana

February 21, 2013

Tarum

Ada yang lenyap dari mata itu:
  Sinar yang teduh, tatapan yang menyalang
Tak lagi ia rasai merdeka
Pikirnya tlah lama dijajah pilu

Marah.
Itu yang mungkin pertama terpancar dari mata yang tajam
Tapi coba kau telisik lebih dalam
Bukan marah yang ia rasa
Tapi pilu yang sama, yang tak berkesudahan.

Banyak langgam yang coba ia serukan atas sakitnya
Tapi, sayang.
Mahkota yang menyangganya terlanjur terkulai
Lemah dan tak mampu mengangkat Tuannya; mata tajam yang menyalang.

Matari mencapai puncak
Pekat kabut bersiap menyelimuti lagi punggung gunung
Punggung hati yang kadung dicabik, lalu dilarung
Mata tajam bersalin beku
Atau mungkin lebih tajam dan menjadi tuah?
Pemilik mata tajam yang menyalang ingin kembali ke dirinya yang dulu:
    Ksatria mangir dengan zirah kulit bercampur logam
Bukan untuk membunuh, tapi melindungi (lagi) dirinya dari sakit yang tak berkesudahan.
Mata tajam yang menyalang tak sudi lagi mencari iba.

February 12, 2013

#12

Jika memang kamu… izinkan aku untuk menepi dan bersandar. Menanti kau mengubah haluan dan kembali ke tempatku berbaring. Menatap senja dalam peluk dan kabut. Berdua. Kita. Dan biarkan gelombang yang menuntun kita lewati malam.

Tak usah hiraukan jantungmu yang berdegup kencang. Dengar nadaku; kita jalani malam syahdu dengan tenang dan langkah yang ringan. Tenangkan nafasmu, Kekasih. Biar mata kita yang bercakap dan gelombang kita yang berpadu dalam hening semesta.

Selubung tipis itu kian memudar. Kerna lampu pijar tlah temukan aku dalam riuhnya kamu. Bersenandunglah; nyanyikan lagu romansa yang manis dan lembut. Tentang nelayan yang kembali pada biduknya. Tentang astronot yang kembali pada pangkuan bulannya.

Radarku mati; kompasku menunjukkan kaulah utaraku. Kau kutunggu. Lekaslah putar kemudi kapalmu dan kembali kita nikmati senja yang membiru.

January 23, 2013

#11

Ketika kamu berjalan menelusur senja dalam balutan pedih, pernahkah terfikir:
Sejauh mana kamu telah sesat?
Sedalam apa akalmu tlah menyelam?
Sewaras apa jiwamu dalam bersikap?
Sehebat apa matamu dalam memilah?
Yang dapat kamu rasai hanya kosong. Kosong yang berisi tapi tetap kosong.
Melebur perih dan jerih dalam perapian takkan mampu membawamu pulang dari kefanaan.
Lupakanlah.
Sampai kewarasan mampu menjamahmu total takkan pernah ia pulang dalam waktu dekat.