August 16, 2011

#1



Jarum pendek masih bertengger di angka satu. Kafe masih padat. Bulan tak malu tunjukkan pendarnya. Beberapa kerumun orang berkumpul di sudut timur. Beberapa di taman. Beberapa di beranda. Beberapa menyampirkan kaki jenjang dan mulus sembari menikmati alunan live music. Sepasang Adam dan Hawa berlabuh di meja bar. Mereka diam. Berdua, tapi tak bersama. Mata mereka bicara soal pikiran majikannya.
Secangkir espresso tandas diteguknya dalam satu putaran. Entah lidahnya yang kebal, atau mungkin hatinya yang terlampau pahit. Setidaknya, perempuan di sampingnya lebih memilih menenggak bir dibanding kopi. Lelaki berkumis tebal itu memesan espresso untuk ketiga kalinya. Perempuan di sampingnya semakin memicingkan mata.
“Kamu sudah sakit jiwa?”
Lelaki itu tertawa pelan. Ditatapnya perempuan terkasih itu dengan mata sipitnya. Kumis itu bergerak-gerak lucu, menarikan tiap gerak dari bibirnya.
“Aku memang sakit. Kamu virusnya.”
Sekarang ia tergelak. Perempuan itu mendengus kesal. Ia menyisir rambut merahnya yang ikal dengan jemari. Mengeluarkan sebuah lipstik marun, lalu mengoleskan ke bibirnya yang ranum. Selapis, dua lapis, tiga lapis. Dirasanya belum cukup juga. Pamungkas, ia keluarkan senjata andalannya. Sebuah lip gloss yang membuat bibirnya makin berkilau. Belum pernah satu detik pun ia menyadari, lelaki disampingnya menatap dia dengan perasaan ngeri.
“Uang yang kemarin aku kasih, apa sudah kamu belikan susu?”
Kali ini giliran perempuan itu yang tergelak. Ditatapnya balik lelaki itu dengan mimik menggelikan. Bibirnya penuh gincu. Matanya penuh dendam. Hidungnya mencium dengki.
“Untuk siapa? Janin ini? Tak perlu! Dia tak butuh susu! Dia sama seperti aku― pecinta bir!”
Gelak tawanya membahana. Seisi kafe menatapnya. Si empunya suara kembali tertawa. Lebih keras. Lebih liar.
Lelaki itu diam. Tak ingin satu derajat pun ia menolehkan pandangannya. Muak. Dan perempuan bergincu itu dengan santai menenggak birnya sampai tandas.
“Kenapa?”
Lelaki itu membuka suara. Perempuan bergincu memesan tiga gelas bir lagi. Bir dingin. Warna kuning dan buihnya bersemarak menyambut bibir perempuan itu untuk diminum.
“Kamu sepakati perjanjian kita di awal.”
“Tapi kejadian ini di luar perkiraan.”
“Tak ada bedanya.”
“Tetap beda.”
“Apa?” bibir marun itu bertanya penuh napsu. Bukan berahi. Tapi emosi.
Kumis tebal suaminya menari-nari pelan. Hendak menggumam, tapi ia tahan untuk memilih diksi yang tepat. Dan mereka kembali bergumul dalam diam.
“Pengecut!” Bir berbuih lenyap melewati bibir ranumnya. “Selasa besok aku bertemu dokter Fatah. Kami sudah menyepakati jadwal untuk aborsi. Tinggal masalah biaya. Cuma operasi kecil, kok. Kurang dari 10 juta.”
Mata sipit lelaki itu mendelik. Perempuan terkasihnya sekarang tidak lagi menenggak bir. Tapi melinting beberapa lembar daun kering berwarna hijau kecokelatan, menggulungnya bersama secarik kertas putih, lalu menyulutnya dengan pemantik berwarna perak. Baunya beda. Bukan rokok putih yang biasa dihisapnya. Marijuana.
Tidak, lelaki itu takkan berbuat apapun. Percuma. Toh bayi yang dikandungnya sudah mati di dalam. Atau mungkin terbalik; bayi itu ikut menikmati marijuana bersama induknya. Menggeliat liar, berebutan asap sembari menenggak bir lewat tali plasenta yang melingkari tubuh mungilnya.
Sepasang lengan kokoh memeluk perempuan itu dari belakang. Lelaki berkumis tebal melirik dengan keterkejutan. Dua alis tebalnya bertaut. Dua lengan tak diundang itu menggamit pinggang perempuan terkasihnya penuh mesra. Perempuannya menggeliat manja dalam dekapan. Terakhir, dua bibir itu berpagut. Satu penuh gincu, satu lagi bibir tebal dengan daya magis mengulum bibir merah itu dengan berahi.
Sebuah gelas bir melayang di udara. Pecahannya kemudian berserakan di lantai, dan di kening si pemilik lengan tak diundang. Satu kepalan tangan juga mendarat di wajahnya. Sekali, dua kali. Beberapa detik berlalu dan hantaman itu belum berhenti juga. Beberapa pasang lengan memisahkan lelaki berkumis tebal dari kepalannya di pipi si lengan tak diundang. Mukanya merah karena amarah. Mata sipitnya membelalak lebar. Geraman keras terdengar dari sela gemeretak giginya. Perempuan bergincu marun menatap dengan bibir lurus. Mata lurus.
Sekarang, sebuah telapak tangan ramping meninggalkan jejak merah di pipi si kumis tebal. Perih. Panas. Tapi bukan itu yang sebenarnya ia rasai. Bukan fisik. Tapi mental. Wajah oriental itu tak sudi lagi menoleh. Dengan kasar ditariknya tangan tadi, dan direnggutnya sebentuk cincin emas putih bertahtakan safir. Birunya berbanding lurus dengan lebam di muka musuhnya. Perempuan bergincu memekik. Refleksnya memaksa ia mencakar lelaki berkumis tebal― suaminya.
Lelaki berkumis tebal meraup wajah langsatnya dengan kedua tangannya sendiri. Malu. Kesal. Marah. Kecewa. Apa lagi yang tersisa untuk suami yang dikhianati? Harta yang ia nafkahkan tak lagi bersisa untuknya.
“Bunuh saja bayinya! Mati! Kalau perlu kamu juga mati sama dia! Berdua kalian mengisap ganja! Bersama kalian minum bir! Butuh berapa? Sepuluh? Dua puluh? Tiga puluh juta? Besok saya kirim!”
Lelaki berkumis tebal menerobos kerumunan. Di kafe itu ia tinggalkan kenangan. Masa lalu dan masa sekarang.
Perempuan bergincu mematung di tempat. Menangis. Tapi tak ada yang membela. Tumpuan hidupnya memilih kabur, menyerah. Sekarang, dari mana lagi ia menyandarkan kebutuhan kosmopolisnya?
Kekasih barunya, si pemilik lengan tak diundang menggapai langkah perempuannya. Tertatih bangun dan memeluk lagi. Bibir berdarah. Mata membiru. Lalu menghitam. Puas memeluk, ia gamit lengan kekasihnya dan pergi menjauhi meja bar.
Perempuan bergincu masih menangis.
Secangkir espresso kehilangan kabutnya.

No comments:

Post a Comment