November 18, 2011

Aku, Kamu, sebuah menara tinggi bernama Eiffel, dan sebuah gondola kecil di tengah sepinya Venesia

Malam itu tepat pukul sembilan, kita berjalan berdua menyusuri koridor raya yang menghubungkan pertokoan yang berjejer rapi dengan wanita-wanita hidung lancip dan bermata biru yang berlalu lalang. Seharian kita hanya menjelajah jantung kota Paris dengan berjalan kaki. Tanpa merasa lelah, tanpa merehatkan kaki. Ketika asmara sudah menggelayut pada dua pasang pelupuk mata, apa lagi yang mampu menahan berontak raga?

Lampu-lampu pertokoan yang menari indah menjamah tatapanku yang berbinar manja. Aku semakin menggelayut mesra ketika ciumanmu mendarat lembut di ubun-ubunku yang membuatku makin dimabuk cinta. Berbagai pandangan dengan beribu makna dari kaum kaukasian itu tak membuatku jengah. Aku jatuh cinta. Hanya itu yang aku dengungkan di tiap kaca rapuh yang membatasi aku dan mereka.

Kita berjalan. Terus berjalan. Sampai akhirnya kita mendaratkan kaki kita di dasar menara yang mereka lafalkan dengan penuh cinta; Eiffel. Kenapa mereka menyebut menara ini sebagai sebuah perlambang cinta? Bukankah Sartre dan Simone sudah cukup jelas? Kenapa perlu ditambah? Aku tak mau memperdulikan tempat ini sebelumnya. Yang ada di benakku selama ini hanya Kremlin, Tembok Berlin, Menara Olympia, dan Venesia. Tapi setelah kamu hadir, rasanya mimpiku ikut tersingkir; kamu berhasil membuat idealismeku jungkir.

Kita masih saling bergelayut manja. Sesekali ciumanmu melekat di bibirku yang waktu itu masih ranum; memerah karena cinta. Aku tersenyum malu tiap kali kamu mengangkat wajahmu meninggalkan jutaan aliran listrik di bibirku. Sesekali aku melenguh ketika kecupanmu menyentuh libidoku. Terkadang aku meringis menahan kejut dari gigitanmu di pagutanku. Kita berciuman, bergairah. Saling mengisi dengan saliva dan kasih.

Kita masih berjalan. Kini kamu mambimbingku menyusuri jalan setapak mengelilingi taman di kaki Eiffel. Aku tak perdulikan tatapan mereka yang masih risih. Aku hanya peduli pada kita. Aku. Kamu. Kita. Cuma kita.

Sampai di sebuah bangku taman yang panjang bercat putih susu. Dan kita berhenti sejenak. Kamu bilang, kamu lelah. Ingin istirahat. Aku menurut. Kita duduk berdampingan, dan kamu masih belum melepaskan pelukanmu di tubuhku. Aroma cengkeh yang menguar dari balik kulitmu menenangkanku. Bau rempah seperti ini seolah memberi petunjuk untukku.

Mungkin kamu lelah, atau mungkin merasa jengah. Perlahan kamu melepas rengkuhanmu lalu merogoh rokok kretekmu dan mulai membakarnya. Kamu selalu tahu aku tidak pernah tahan mencium bau pemantik yang bercampur dengan aroma rokok kretek yang terbakar, kan? Tapi kamu bergeming. Kamu mengepulkan asapnya kuat-kuat ke udara. Seperti menantang selubung tebal udara kering bulan Oktober.

Tiba-tiba kita melompati ruang. Sekarang kita sudah tidak di Paris lagi dengan kumpulan gadis-gadis blonda yang menatap nyinyir kepadaku yang terus kamu ciumi selama perjalanan kita sehari ini.

Kita berdua saja ketika melintasi sebuah kanal yang cukup besar dengan gondola kecil di tengah keramaian kota. Kamu menggenggam tanganku erat, seolah sebentar lagi kita akan terpisah. Malam itu cukup sepi. Lalu lalang orang tak mengganggu kita lagi. Kita saling memeluk, saling mencium. Lagi. Kamu menyelipkan sejumput anak rambutku yang nakal ke balik daun telingaku. Aroma khas tubuhmu menguar, melapisi selubung tipis yang menghalangi kita. Aku hampir terlelap di dalam pelukan hangat yang membuatku lupa akan tugas baru yang telah menungguku di ujung jalan itu. Kita berpeluk satu sama lain; saling mencumbu seperti ini kali terakhir kita bertemu sebelum beberapa puluh tahun lagi kita dipertemukan di sebuah kereta api antar kota. Kamu menyusupkan jemarimu diantara lembaran-lembaran rambutku. Tarikan nafasmu melambat, semuanya terasa begitu berat. Kamu menatapku pilu, lapisan pelangi matamu menyembunyikan ribuan keping puzzle dari tatapan mataku.

Kamu belum pernah sedih seperti ini. Perilaku kamu belum pernah seganjil ini. Biasanya, setiap kali kamu menatapku, di kedua iris matamu selalu terpancar berbagai mimpi indah yang menyenangkan; kita berlari ke bukit, menari di pantai, berkejaran di tepian sungai. Hari itu yang aku lihat hanya pancaran semu yang kelabu. Kamu enggan berbicara, tapi tatapanmu berkata segalanya.

Kamu masih belum mau bersuara. Kita nyaman dengan diam yang menyanyikan lagunya di tengah perjalanan gondola kecil ini. Kita larut dalam pikiran masing-masing. Tapi aku tak mau melepas rengkuhanmu lagi. Tidak.

Kamu membisikkan sebuah kalimat dalam bahasa Spanyol. Kamu selalu tahu, aku menyukainya. Sekalipun aku tak pernah mengerti apa yang kamu bicarakan. Tapi kali ini lain, suaramu terpecah dua. Satu dalam alunan Espanola, yang satu dalam larik sajak Indonesia. Dan aku mematung dalam keterkejutanku.

Kamu bilang kamu harus pergi. Sekarang ini sudah jadwalnya kamu menjalani skenario yang Tuhanmu pilih. Sekarang ini sudah saatnya kita dipisah dan memainkan peran sendiri. Aku masih mematung, termenung.

Kamu bilang sudah saatnya kamu memenuhi tugas dari Tuhanmu; berlayar mengarungi kehidupan yang fana dan mortal di balik pantulan cermin. Aku berusaha mencegah, aku ingin melempar suara keberatan. Tapi kamu memaksaku menelan protesku dengan satu ciuman lembut.

Kamu bilang, kamu tidak akan pergi jauh. Kamu bilang, selama aku masih menjaga arus listrik yang menggelora di antara kita, takkan pernah kamu berlari terlalu jauh dariku. Mungkin hanya satu, dua, atau dua setengah dekade. Setelah itu kita akan menyatu. Lagi. Seperti yang selalu kita lewati sebelum tugas Tuhan ini memaksamu pergi. Aku mengalah. Aku diam dan menelan (lagi) dengan mentah semua teorimu tentang kita; tentang tugas yang Tuhan beri.

Sekali lagi, kita kembali ke Paris. Kita duduk bersama menatap Eiffel. Imajinasimu tak selamanya selaras dengan imajinasiku. Di titik ini, idealismeku terpaksa menyingkir. Sekarang aku mulai sadar; kamu bertransformasi menjadi seseorang yang bukan lagi dirimu. Kamu sudah berubah, menjadi suatu rangkaian elektromagnetika yang tak terjamah dan memantulkan menjadi siapa kamu di kehidupan baru yang Tuhan tugaskan. Aku hanya mampu menatapmu nanar. Di sampingmu, di dalam balutan trench coat beige, berusaha menahan napas yang semakin merapat ketika kamu melepaskan kepulan asap rokok kretek yang menyengat. Aku tertunduk. Hanya mampu berusara kepada bayangan maya.

***

Sekarang, hampir dua dekade aku menjalani tugas yang Tuhan beri. Aku ada di dunia yang sama denganmu, Sayang. Di mana kita akan bertemu? Di kantor kah? Di perjalanan membosankan yang berisi kota metropolitan kah? Atau di sebuah gerbong kereta eksekutif dalam agenda liburan  yang tidak kita jadwalkan bersama ke Yogyakarta?

Aku menagih janjimu; sudah hampir dua setengah dekade sepertinya sejak kepergianmu meninggalkanku. Aku hanya ingin merasakan satu; aroma cengkeh yang menguar tajam dari balik kulit kuningmu dan dua bongkah lapisan pelangi yang menatapku penuh kasih dari sekeliling bulatan hitam matamu. Aku rindu kamu. Dan aliran arus listrik yang menggetarkan kita sejak dulu belum pernah berkurang kadar voltasenya.

Semoga kamu membaca ini. Supaya kamu cepat pulang tanpa harus menyaksikan aku menyelesaikan tugas ini lebih dulu.

Jangan hiraukan pemilihan kataku yang melantur dan cara berceritaku yang berkumur-kumur. Aku hanya ingin kamu tahu; cerita yang membungkus kita dalam versi apapun di kehidupan yang dulu, takkan pernah memadamkan api emas yang menyatukan kita seperti apa yang sudah digariskan Tuhan. Kamu hanya untuk aku. Bagaimana pun jalan yang sudah Tuhan tetapkan.



Dari perempuan setengah gila yang menunggu kamu pulang untuk melunasi teori kita di masa sebelum kehidupan yang sekarang.

November 15, 2011

#5

I miss you more than you thought I'd be. No one could replace you as I failed to form a new relationship. Is that mean that you're close enough with me so that I'm forbid of making those commitments?


Published with Blogger-droid v2.0.1

November 10, 2011

Kidung Malam

Selamat malam, Layang-layang. Semoga bayangmu tak hanya membekas di redupnya lampu malam yang temaram.

Selamat malam, Kembang tidurku. Biar rindu ini membeku menjadi candu dalam lapisan gincu.

Selamat tidur, Nelayanku. Segeralah pulang menuju rasi bintang yang memujamu dari gelap malam yang syahdu.


Published with Blogger-droid v2.0.1

November 09, 2011

#4

Rintik hujan menemaniku menjamah tiap langkah beku di pinggiran jalan raya. Pikiranku terus memutar, mengalihkan pandangan menjadi sebuah imajinasi lain tentang aku, kamu, kita. Berbagai gambaran kasar dan liar berkelebat menyeruak. Aku gelisah untuk sesuatu yang belum pernah aku lihat. Aku ketakutan untuk sesuatu yang belum pernah kukecap. Butiran air bening meleleh melintasi mata. Dada ini terasa perih, Sayang. Dan kamu takkan pernah tahu sedalam apa sakitku atas kamu.


Published with Blogger-droid v2.0.1

November 05, 2011

#3

Tuhan tahu kau ada, kau nyata, kau berguna. Di dunia bagian sana kau bekerja, bergerak, bernapas, bercinta. Tapi, adakah sebagian darimu merindu sebagian dari aku? Kapan kau berencana pulang? Janji kita di masa lalu tetaplah utang yang harus kita lunasi sebagai cinta. Sebentar lagi dua dasa. Kuharap kau menyegerakan pulang. Ke rumahmu yang sampai kapan akan tetap menjadi rumahku.


Published with Blogger-droid v2.0.1